Stressful

Hal yang selalu kutakutkan pun tiba, "Menjadi Dewasa". Anak kecil, ceria, lincah, aktif dan manja, mungkin itulah diriku dahulu, pun sekarang. Setua apapun pertambahan angka untuk usiaku, setinggi apapun pertumbuhan tinggi badanku setiap hari, aku tetaplah anak perempuan ayah dan ibu yang manja. Aku yang senang berbuat sesuka hatiku, melakukan banyak hal, berlari kesana kemari, tertawa, melompat, memanjat, dan masih banyak lagi. Dahulu, aku memiliki begitu banyak kebebasan dalam hidupku, perlahan segala kebebasan itu berkurang satu per satu. Satu per satu kebebasan itu telah berubah menjadi pekerjaan yang diwajibkan.

Orang tuaku sangatlah memperhatikan pendidikan putri-putrinya. Mereka selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk kami. Tanpa sadar kamipun menjadi anak-anak yang mengejar peringkat kelas dan angka pada kertas laporan hasil belajar. Masih sangat jelas dalam memoriku, ketika aku duduk di bangku kelas 2 SD, aku berada di peringkat kedua setelah temanku. Kedua orang tuaku memarahiku, kakakku pun demikian. Aku dilarang untuk bermain bersama teman-temanku. Aku dipaksa pulang dan tidak diperbolehkan keluar rumah. Sejujurnya dulu aku sangat membencinya. I love play. I like to go outside and enjoy any thing around me. Dan setealah aku memasuki masa SMP dan SMA, bahkan di Perguruan Tinggi tetaplah sama. Aku bukanlah siswi cerdas, pandai ataupun pintar sekalipun. Saat SMA aku berusaha keras untuk mendapatkan peringkat dan nilai yang bagus. AKu belajar, belajar, dan belajar ketika di rumah sangat serius. Untuk apa? Untuk membeli kebebasan. Aku iri pada temanku, dimana orang tuanya justru menyuruh dia mengikuti kegiatan - kegiatan sekolah, sedangkan yang dia inginkan belajar di rumah. Berbalik 180 derajad denganku, aku ingin melakukan banyak hal di kegiatan sekolah, tetapi orang tua menginginkan aku belajar di rumah. So, I buy my desire. Jadi, motivasi belajar ketika di SMA selain ingin diterima di ITB juga karena ingin bermain.

Ketika kuliah, orang tua tidak suka aku mengikuti kegiatan kampus, kerja part-time, lomba PKM, dan sebagainya. Pasti yang ditanya "Kamu dapat apa?". When you have totally different view with your parents, it is hard to explain them the correlation between what do you want and what are you doing now. Because I don't want to have any fight, so I ended up silence. Aku mungkin bukanlah orang yang baik, tapi aku paham ilmu agama tentang orang tua. Aku tidak mau durhaka kepada mereka. I just wanna tell what is my opinion, what do I want to, but it always fail. What I hate the most is, they always see something from material, money, positions. Even though they said "No" but their act is "Yes".

Aku selalu bertanya, "kenapa setiap pekerjaan yang aku lakukan perihal hobiku tidak berjalan dengan baik?" Baik organisasi, lomba, dan sebagainya. Dahulu aku berpikir, usahaku kurang keras. Tetapi, kegagalan-kegagalan itu terjadi bukan karena suatu usaha, melainkan sesuatu yang tidak pernah bisa kita prediksikan sebelumnya. Saya sadar ada doa orang tua yang ikut campur. Meskipun orang tua selalu mengatakan "iya selalu didoakan", mereka tidak sepenuhnya. Ada keraguan dalam doa dan hati mereka. Mereka tidak sepenuhnya rela aku mengerjakan ini, itu. Berkali-kali ketika masih di bangku kuliah, aku mencoba untuk mendaftar pertukaran mahasiswa, tapi selalu gagal dalam proses pendaftaran. Pertama, saat saya mendaftar untuk melaksanakan tes TOEFL-ITP, saat waktu tes saya yang sudah ditetapkan tiba, nama saya justru tidak ada dalam daftar peserta tes. Padahal tes hanya diadakan 2 minggu sekali, dan 2 minggu kemudian hasil tes baru diberikan. Jika, namaku terdaftar pada tes pertama aku masih memiliki kesempatan mendaftar sebelum deadline. Tetapi, karena aku tidak dapat melaksanakan tes hari itu maka deadline sudah terlewat. Kedua, saya harus memilih antara mengikuti UAS salah satu mata kuliah wajib atau mengikuti tes wawancara untuk pertukaran mahasiswa (padahal diinformasikan di awal bahwa wawancaranya akan dilakukan siang hari). Ketiga, UUD (Ujung-ujungnya duit). Takdir banget kan. I tell this, it doesn't mean that I blame God with anything happen to me. I just said that this the way of my destiny. My failure now is not fully from my work, but there is still destine works on it. Just Say,"Inshaa Allah ini adalah yang terbaik". Sambil mengikhlaskan hati.

Actually, i do not agree with my parents method to raise me in terms of education, position, and prosperity. Yet, I absolutely support how they train me to live simply and hard work for everything you want to gain. FYI, I bought my wardrobe in my room now was by my own money when I was in elementary school.


Yogyakarta, 10 Mei 2017

Comments

Popular Posts